Sesemu Harap yang Terangi Jiwanya




Terbersit keinginan untuk mengebiri perasaan itu, saat semua hal yang dulunya baik menjadi semakin tak menentu. Namun takdir berkata lain. Aku tak lagi bicara pada anak remaja nakal yang selalu merebut mainan dan memakai barang-barangku. Nyatanya, aku sedang bicara pada seorang pria, dewasa.
Sungguh waktu cepat berlalu, sehingga masih lekat dalam benakku kala mengganti popoknya, membuatkan susu formula untuk meredam tangisnya.
Jangan tanya ibu, dia sudah di surga. Malaikat pencabut nyawa merenggutnya dari kami saat dia lahir. Mengambil malaikat yang tampak nyata bagi kami. Tak pelak akulah yang harus merawat dan menjaganya.
Tumbuh bersama dalam ikatan suudara, namun berperan layaknya anak dan orang tua. Terkadang, aku yang masih muda pun menangis, mengeluh dengan keadaan yang ada.
Namun, untuk mematikan harapnya aku tak mungkin tega.
Lagipula aku tak punya hak dan daya apapun untuk melakukannya. Memangnya siapa aku? Hanya wanita yang kebetulan dilahirkan lebih dulu darinya.
Aku jauh lebih beruntung, setidaknya pernah merasakan cinta kasih nyata dari ibu. Sedangkan dia hadir sebagai bayi malang ke dunia ini. Aku pun bersalah besar terhadapnya, karena tak mampu membuatnya bahagia.
Belakangan, justru dialah yang membantu biaya kuliah juga kebutuhan kami sehari-hari dengan bekerja di pet shop milik temannya. Kecintaanya pada binatang, membawa berkah tersendiri bagi kami.
"Menyerah sajalah," pintaku jengah dengan sikap keras kepalanya.
"Mana bisa begitu? Aku tidak akan menyerah sebelum Tuhan yang berkehendak begitu."
"Berapa kali lagi aku harus melihatmu terluka?" Nada suaraku naik satu oktaf dengan penekanan di setiap suku kata yang terucap.
"Tenang saja, Kak. Aku tak selemah kau kira," jawabnya santai.
Dia meminum air dalam gelas, menatapku melanjutkan bicara.
"You know what? Dia begitu istimewa. Di balik kulit pucat dan wajah lesunya, terdapat sel-sel hidup yang luar biasa. Walau sebagian telah kalah pada keganasan. Sorot matanya hidup, menyala, melebihi kita semua. Menghidupkan hasrat siapa saja yang melihatnya."
Aku menghela napas, menunduk untuk bernapas lebih dalam.
Orasinya cukup menggetarkan sekaligus melelahkan untuk kudengar.
Kucari sesuatu dalam kamar, sebuah kotak yang tersimpan aman selama belasan tahun. Berdebu, tak terusik sentuhan. Ketemu.
Kusingkirkan debu dari permukaan benda itu, mengamati isinya.
Suara ketukan terdengar saat benda itu kutaruh di atas meja kaca.
"Take this."
"Ini?" Dia bertanya ragu.
"Emas putih. Ini peninggalan ibu, satu-satunya barang berharga yang kita punya. Maaf telah membiarkan kita kelaparan untuk terus memilikinya. Tapi,"
"I know. I won't blame you. Sekarang kita bisa cari uang untuk makan."
Sejenak ingatan tentang ayah menyeruak. Dua puluh tahun lalu tepat seperti apa yang dia katakan terucap dari bibir ayah. Itu kalimat terakhir sebelum ayah pergi ke Malaysia, dan tak pernah kembali hingga saat ini.
'Kita ada uang cukup untuk makan'
"Terima kasih." Dia berlalu cepat, menyembunyikan embun di sudut matanya dariku.
"Evan."
"Yeah," jawabnya menoleh.
"Kau tak harus terluka lagi," kataku menunjukan pilihan.
"I won't" Dia meninggalkan senyum untuk membunuh ketakutanku.
‪#‎DONE‬

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer