Desa Kapatra


‪#‎cergun‬
Sebuah kampung di kaki gunung, dengan sawah dan ladang mengelilingi. Tempat akulahir dan dibesarkan sebagai gadis dari ayahku, Pandi Pujoko. Kemampuannya dalam bidang administrasi membuat ayah menjadi orang yang disegani, sekalipun hanya orang biasa.
Delapan belas bilangan usiaku dalam tahun masehi. Ijazah SMA sudah kububuhi tanda tangan, tak terlewat pula foto diri menempel di sana. Lengkap dengan goresan indah pena ejaan nama, Narandri Sati.
"Ayah, izinkanlah anakmu ini pergi merantau barang kali ada sekolah lebih tinggi atau menjadi buruh pun tak apa bagiku."
"Tidak, Nak. Tidak akan kubiarkan kau pergi dari desa ini. Sudah sepatutnyalah kau mengabdi pada tempat yang telah memberi naungan juga penghidupan bagimu, keluargamu."
Aku menghela napas, berharap penuh ragu, "Apa yang bisa kuperbuat di sini? Ilmu yang kumiliki tak seberapa, Ayah. Pengalaman juga hanya sebatas desa ini saja."
"Mengertilah, sudah menjadi peraturan adat kita bahwa seorang wanita tak bisa berbuat sekehendak hati. Lihatlah ibumu!" Nada bicara Pandi meninggi, membuatku enggan membantahnya lagi. Namun dalam hati aku tetap menolak keputusannya.
Lagipula, aku telah terbiasa belajar di kota kecamatan temapt sekolah berdiri. Apa bedanya jika kali ini aku tinggal di kota seperti Sarmini dari desa sebelah yang melanjutkan pendidikan di kota. Atau Listiyana yang bekerja menjadi buruh di pabrik elektronik.
Apa bedanya, selain jarak yang lebihh jauh? Aku tak mengerti adat apa yang dipegang ayah, sampai menghalangi masa depan putrinya.
Kudekati ibu yang masih sibuk dengan mesin jahitnya. Belum selesai juga mengerjakan baju pesanan bu Lurah.
"Bu," panggilku pelan.
" Ada apa, Nak?"
"Mengapa aku tida boleh pergi dari desa ini?"
Ibu hanya tersenyum, menghentikan aktifitasnya dan duduk di sebelahku. Tangannya cekatan membelai rambut legamku.
"Bukan tidak boleh, tapi belum saatnya. Kau pasti tahu Nak, semua orang di desa ini sangat menjunjung tinggi aturan yang ada. Apa yang membuatmu tak ingin tinggal? Keluarga, sahabat, kedamaian bahkan kesejahteraaan ada di sini."
"Tapi, aku ingin memeliki pengalaman, Bu."
"Hehe. Bukankah ayah selalu mengajakmu pergi jauh saat liburan sekolah? Itu sudah cukup, Nak."
Aku menelan ludah, kecewa. Sampai di sini aku menyadari sebuah jawaban. Hanya pernikahan yang bisa membuatku pergi dari desa. Tapi itu tak akan terjadi dalam waktu dekat.
Semakin kecewa mengetahui jawaban yang tak lain adalah jalan buntu.
***
"Kebebasan itu milik semua orang, Pak Mandala. Namun, ada baiknya kita mengikuti adat yang ada sebagai penyelamat di kemudian hari," kata ayah saat kami sedang mendata harta salah seorang warga.
Perkataan barusan sepertinya juga tertuju padaku. Bukan hanya aku saja yang tidak bebas, namun seluruh warga desa pun terikat aturan.
Mereka tidak memiliki kebebasan finansial secara utuh. Karena ayahku sebagai juru bea, akan mendata keuangan setiap rumah sebulan sekali.
Setiap kepala keluarga wajib melaporkan seluruh harta mereka. Bukan hanya itu, mereka juga wajib berinvestasi minimal 10% dari jumlah harta mereka.
Ada juga biaya rekreasi yang harus dibayarkan. Sehingga setiap warga desa pasti memiliki anggaran khusus rekreasi, sesuai kemampuan.
Pemerintah desa begitu ketat memberlakukan aturan. Para pemuda yang merantau pun harus pulang dan mengabdikan ilmu mereka di desa ini.
Tak heran jika warga desa Kapatra terkenal makmur merata. Bahkan sangat jarang ada orang yang menimjam uang pada yang lainnya.
Selain membantu ayah menyusun laporan, aku juga mempromosikan desa Kapatra sebagai desa wisata. Banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi. Lahan pertanian, air terjun, peternakan, dan masih banyak lagi.
Dari itu aku mendapat uang, juga pengalaman bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Dengan bangga selalu kuceritakan tentang desa Kapatra kepada para tamu.
Kini aku tahu, mengapa ayah dan warga desa yang lain kukuh memengang adat istiadat. Satu hal lagi yang sangat tabu bagi kami, yaitu menjual tanah.
Modernisasi tidak bisa dicegah, namun peraturan yang ada jangan sampai dilanggar.
"Terima kasih, Ayah." Aku bicara di belakang punggung lelaki tegas itu.
#done

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer