Not For Sale


‪#‎Cergun‬ Request by Byron Khafka
berjudul
~Tidak Dijual (Not for Sale)~
Aroma aerosol yang tajam memenuhi ruangan. Aku harus keluar, menunggu racun itu mereda dan nyamuk-nyamuk berjatuhan agar bisa tidur nyenyak.
Teras kontrakan sempit adalah tempat menunggu yang nyaman sambil mengisap rokok A Mild kesukaanku. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, jalanan sepi.
Hanya seorang pemuda kuperhatikan sedang mencoba menyalakan sepeda motornya berkali-kali namun tidak berhasil.
"Kenapa, Mas?" teriakku dari balik pagar.
Dia menoleh, melihat sekitar mencari sumber bunyi.
"Hey! Aku di sini," kataku sambil melangkah ke arahnya. Lelaki itu memandangi tak jelas. Dengan asap mengepul dari mulut dan celana di atas lutut mungkin dia kira aku wanita murahan.
"E-eh Mbak," jawabnya gugup.
"Kenapa tuh motor?"
"Gak tau nih. Mana udah malem, pasti gak ada bengkel buka," keluh si lelaki.
"Sini biar kucoba. Bensinnya isi kan?" tanyaku.
"Ya isilah, Mbak."
Kucoba menyalakan motor itu tapi tak bisa juga.
"Bawa ke sana," perintahku sambil menunjuk kontrakan.
Kulepas busi dan mengamplasnya sedikit. Lalu memasangkan di kabel busi. Saat pelan-pelan kickstarter diinjak, busi itu masih memercik.
Namun saat dipasang kembali motor tak juga menyala.
"Aduh, gimana yah Mbak? Rumahku jauh lagi."
Aku hanya melirik jengah.
"Oiya, Mbak. Kenalkan aku Byron. Byron Khafka."
Dia mengulurkan tangan yang dengan ragu kujabat.
"Vami," ucapku.
"Salam kenal, Mbak Vami," katanya dengan menampilkan muka sok manis.
"Yuk kita bersihin karbunya," ajakku.
"Mbak bisa?" tanyanya dengan nada terkejut.
"Entahlah, terakhir kali aku bongkar karburator setelah dinyalakan motornya meledak," jawabku cekikikan. Pasti dia belum paham kalau itu adalah lelucon.
Kuambil sekotak kunci-kunci dan obeng. Lalu membuka body plastik motor Yamaha itu.
"Ini motor 2009?"
"Iya kayaknya, Mbak. Aku gak paham."
"Dijual tidak? Kalau mau dijual bilang aku yah."
"Mbak mau beli?"
Aku mengangguk.
"Tapi ini bukan motorku, ini punyak kakak."
"Ambilkan nampan itu," perintahku lalu menaruh bagian-bagian kecil karburator.
Setelah bensin tertuang pada nampan, satu per satu bagian kecil-kecil itu kubersihkan dengan kuas sementara Byron mengeringkannya dengan lap lembut.
Benar saja setelah dipasang motor bisa menyala.
"Pasang body-nya sendiri yah." Aku melangkah ke belakangan untuk mencuci tangan.
Saat kembali body plastik belum terpasang sempurna.
"Hey, ini kopi," kataku sambil menaruh dua cangkir kopi.
"Makasih, Mbak. Hehe. Udah ngrepotin dikasih kopi pula. Jadi ga enak."
"Siapa bilang semuai ini gratis?"
Seketika wajahnya berubah kaku.
"Iya. Iya Mbak tenang aja."
Saat kunyalakan lagi rokok sambil sesekali menyeruput kopi, dia memandangku aneh.
"Hey! Jangan melihatku seperti itu," protesku.
"Maaf."
Kopi habis. Dia pulang setelah memaksaku menerima sejumlah uang dan meninggalkan nomer telepon.
***lu gue end***
"Selamat siang, Mbak Vami."
Suara itu menghentikan aktifitasku memasang payet-payet pada baju pesanan.
"Oh, Hai. Apa kabar?" sapaku.
"Wah, Mbak ngerjain kerjaan cewek juga ternyata."
"Ada apa kemari? Apa mau menjual motor?"
"Begini, Mbak."
Dia bicara panjang lebar dan kusimak baik-baik setiap perkataanya. Sambil sesekali mengepalkan tangan dan gigiku gemerutuk beradu.
"Tidak! Diriku tidak dijual!" teriakku geram.
Byron datang untuk menawariku menjadi isteri simpanan pejabat rendahan. Tak sudi aku!
"Pergi sana dan jangan kembali lagi!"
***hahhah***
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsa-lam."
Sungguh terkejut mendapati seorang bapak berdiri di hadapanku. Mungkin ini lelaki yang dimaksud Byron waktu itu.
"Apa benar dengan Nak Vami?"
Aku mulai jijik dengan suara lembutnya.
"Iya benar."
"Dimana orang tuamu?"
"Aku tinggal sendirian saja, Pak."
"Barangkali ada saudara atau siapa yang lebih tua. Bapak kemari berniat melamar Nak Vami."
"Apaa?!!"
"Untuk putra Bapak, Byron."
Aku terdiam tak bisa berkata apa-apa. Jadi kemarin itu hanya ujian calon isteri.

Komentar

Postingan Populer