One Day One Juz




Pertama kali tahu tentang ini adalah saat tahun 2009. Waktu itu aku masih duduk di bangku kayu dalam kelas 12 TMO 2. Tentu waktu itu aku masih unyu, juga dekil. Karena hampir setiap hari dijemur di bawah sinar matahari. Hari Senin upacara. Selasa olahraga. Rabu dan Kamis baris berbaris bersama personel TNI, Jumat eksul Pramuka. Hari Sabtu, jalan-jalan jauh naik sepeda motor bareng yang lain.
Mendekati bulan puasa tahun itu, atau tahun sebelumnya kalau tidak salah, ibu guru PAI yang cantik dan masih lajang membuat sebuah challange. Namanya Bu Faridah. Tantangannya adalah dalam satu bulan harus khatam membaca al-Quran.
Beliau bilang, rata-rata juz berisi sepuluh lembar. Jadi misalkan dalam satu hari kita salat lima kali, maka setelahnya minimal membaca dua lembar. Terdengar mudah bagiku kala itu. Memasuki bulan puasa aku mulai rajin membaca al-Quran, lebih rajin dari biasanya.
Namun aku sadar akan ada hari-hari saat diriku tak bisa salat dan puasa. Biasanya hari itu lebih dari tujuh. Aku pun semakin giat, sedikit galau menggelayuti pikiran. Terbayang teman-teman lelaki yang puasanya lancar jaya tanpa hambatan. Teringat Rudy dan Singgih yang sesekali bertukar ranking denganku, pasti mereka telah melesat jauh.
Belum lagi bayangan Septiyaningsih, si gadis Wonosobo yang bacaan al-Qurannya semulus jalan bebas hambatan. Aku semakin galau, namun tak patah semangat begitu saja. Setiap ada waktu akan kutambah membacanya. Malam dan pagi jatahnya lebih dari dua lembar. Aku sudah tidak memakai rumus dari Bu Faridah lagi.
Setelah idul fitri sekolah kembali aktif. Jadwal pun mulai padat. Tiba waktu pelajaran PAI, Bu Faridah ternyata masih ingat tantangan waktu itu. Beliau bertanya siapa yang khatam dalam sebulan. Sayang tak ada yang tunjuk tangan. Dewi teman sebangku menyikut, segera kutangkap maksudnya.
Tangan kanan kuangkat seraya berucap, "Saya, Bu." Malu-malu namun jujur. Seluruh kelas sepertinya menatapku, termasuk Sahidin pujaan hati si bintang SMK.
"Tati," panggil Rudy dengan wajah keheranan bercampur kagum.
"Hanya Wartati?" tanya guru PAI meyakinkan.
"Mana yang lain? Yang putra?" Semua menggeleng.
"Masya Allah, padahal anak putri ada hari liburnya."
Di pertemuan PAI yang selanjutnya Bu Faridah memberiku bingkisan sebagai hadiah kecil.
"Jangan lihat nilainya, semoga menjadi penyemangat." Begitulah kira-kira ucapnya.
"Alhamdulillah, terima kasih Bu." Aku pun kembali ke bangku di sebelah Dewi yang sering memujiku.
Tapi dulu namanya bukan one day one juz.
‪#‎cergun‬ kenangan masa lalu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer