Kaligrafi




***
Kelas itu tak pernah tertutup sempurna. Sesekali aku mencuri lihat dari celah pintu sebelum melanjutkan ke kelas kalkulus.
Rasa ingin tahu dan kagum berbaur. Kelas itu amat tenang dalam satu waktu, namun begitu riuh di waktu yang lain. Semakin lama ingin rasanya bergabung di kelas itu.
Kuutarakan niat pada guru kalkulus. "Bu, bolehkah aku masuk kelas Kaligrafi?"
"Tentu. Kau boleh ikut kelas apa saja di asrama ini. Tapi ingat, jangan terlalu banyak bidang yang kau ikuti. Mengerti?"
"Terima kasih."
"Nanti ibu antar."
***
Sebuah tepukan tangan tiba-tiba saja membuat seisi kelas diam. Hening beberapa saat.
"Perhatian! Ini adalah nona Kesy dari kelas kalkulus. Dia ingin bergabung bersama kita." Bu Ivy memperkenalkan.
"Silakan memperkenalkan diri," ucapnya menepuk pelan pundakku.
"Halo. Namaku Kesy. Aku ingin juga belajar di kelas ini. Mohon bantuan, Teman-teman."
Beberapa mengucapkan selamat datang dengan ramah. Sebagian lain tak memerhatikan sama sekali.
Aku duduk di bangku panjang. Ada beberapa murid di sana. Tapi tidak terlalu sempit.
"Boleh aku duduk di sini?"
"Silakan, Kesy."
"Terima kasih."
"Namaku Sophia."
Beruntung aku duduk di tempat yang tepat. Sepertinya Sophia ramah dan bisa diajak berteman.
Bu Ivy membagikan kertas. Di atas meja terletak begitu banyak alat tulis seperti tinta, pena, pensil kayu, dan masih banyak lagi.
"Nona Kesy, boleh pakai pensil dulu," kata bu guru.
Teman-teman sudah mulai menuliskan kata-kata mutiara, petuah bijak serta kata-kata cinta. Begitu juga dengan Sophia, gadis berambut lurus di sebelahku.
Namun aku masih diam sambil sesekali memandangi contoh yang diberikan Bu Ivy. Aku takut memulai.
"Ayo, cobalah." Tiba-tiba mata Sophia tertuju pada lembar kosongku. Aku menggelang.
"Coba saja. Jangan takut. Ayo kamu pasti bisa."
Perlahan kugerakkan pensil. Mencoba menulis seperti contoh. Namun garis-garis yang kubuat keriting dan tidak beraturan. Hurufnya pun besar kecil.
Aku merasa kelelahan. Segera kuremas lembar kerja payahku. Sophia mengambilnya. Lalu merapikan kertas yang lecek itu.
"Jangan sia-siakan karya pertamamu."
"Itu bukan karya!" ucapku kecewa.
"Ini karya. Kamu telah berusaha, kan?" Gadis berlensa hijau itu menaruh lembar kerja yang telah dirapikan itu di hadapanku.
"Simpan ini. Suatu saat kamu akan tahu seberapa jauh langkahmu dengan melihat awalan ini."
Bu Ivy menutup pertemuan setelah menerima lembar kerja murid-murid. Dengan alasan kenang-kenangan aku meminta padanya agar membolehkan menyimpan lembar kerja pertamaku yang sebenarnya adalah alasan untuk menutupi kebodohan.
***
Semakin hari aku semakin bisa mengikuti kelas kaligrafi. Sampai tidak perlu lagi memakai pensil.
"Apa ini?" tanya Bu Ivy.
"Itu letter 'vi'."
"Kenapa bulat?"
"Karena aku memberinya simpul di salah satu sisinya."
"Ini bagus. Ibu mau kamu membaca buku referensi. Kamu bisa ambil di perpustakaan."
Aku mencatat judul buku yang dimaksud Bu Ivy. Setelah kelas selesai aku akan langsung mencarinya.
Perlahan tapi pasti aku memiliki kecenderungan menuliskan bentuk yang kusukai. Bu Ivy bilang itu gayaku. Tidak sama dengan panduan atau karya murid lain, tidak bagus tapi unik.
Beberapa teman seperti Sophia dan Samantha pun kerap memuji. Membuatku merasa nyaman berada di kelas kaligrafi.
Membuat tulisan-tulisan indah dengan tangan sungguh menyenangkan. Tapi aku belum boleh menulis surat untuk orangtua, karena goresan tintaku belum sempurna.
Tidak semua murid diperbolehkan menulis surat kecuali yang sangat cakap saja.
"Berapa kali kamu sudah menulis surat untuk orangtua?" tanyaku pada Sophia. Namun dia hanya mengankat bahu, tak mau menjawab.
Walaupun belum boleh menulis surat untuk ayah ibu, aku terus berlatih. Sampai suatu saat ada beberapa murid di kelas kaligrafi yang sudah pandai mengajukan usul.
"Maaf Bu Ivy. Kenapa tidak ada dari kami yang dijadikan asisten kepala sekolah?"
"Betul, Bu. Dalam menulis surat kelulusan kepala sekolah bisa memanfaatkan kemampuan kami," timpal yang lain.
"Tidak, tidak perlu," selaku.
"Kita hanya harus terus belajar."
"Memangnya siapa kamu, berkata begitu?" Anak itu mengarahkan pandangan padaku.
"Iya. Memangnya kamu siapa?" timpal yang lain.
"Lihat dulu, sudah banyak dari kita bisa menulis surat untuk orangtua kan? Dan itu bukankah menjadi pajangan kelas kita?" Aku menunjuk sebuah karya yang dipajang di dekat pintu.
"Mana?" Mereka melihat karya di belakang Bu Ivy.
"Ini biasa saja menurutku. Kenapa kamu ingin kami melihatnya? Memangnya karyamu bagus?"
Ingin sekali rasanya bilang bukan yang di belakang Bu Ivy. Tapi yang di dekat pintu. Tapi aku lebih memilih diam.
"Tolong pertimbangkan, Bu."
"Baiklah akan ibu sampaikan usulan kalian pada kepala sekolah."
***
Kupeluk lembar-lembar kerjaku dalam kegetiran rasa. Saat kulihat satu per satu, tidak buruk memang. Tapi bukan yang terbaik.
Kata-kata murid di kelas tadi masih terngiang jelas. Seketika tanganku melemah, hasil kerjaku di kelas kaligrafi berserakan di lantai kamar.
Aku ingin membakar lembaran-lembaran itu dan melupakan keinginan untuk bisa menulis surat untuk orangtua.
***
Berkali-kali aku salah mengerjakan soal kalkulus. Aku tidak bisa berpikir jernih.
"Ada apa? Sepertinya kamu sakit?" tanya Shamal.
"Iya."
Aku mulai menceritakan pada Shamal apa yang kualami di kelas kaligrafi.
"Abaikan saja. Kenapa malah ingin berhenti?"
"Shamal, kamu tidak tahu. Aku-aku, aku belum bisa menulis surat untuk orangtua. Semua karyaku tak ada artinya?"
"Sudahlah. Kamu hebat sudah mau mencoba dan terus berusaha."
"Tapi aku tidak serupawan dirimu?"
"Mungkin kamu bisa membuat hatimu begitu?"
Aku mengerti maksud Shamal. Saat kembali ke kelas kaligrafi masih kudapati Sophia dan Samantha. Mereka meminta agar aku tidak patah semangat.
"Jangan dulu menyerah, ya," pinta mereka berdua.
Aku mengangguk. Tak mudah hingga bisa menulis surat untuk orangtua. Sebelum saat itu tiba bagiku, akan ada jarak yang panjang yang mungkin tak selalu lurus.
Sementara belum ada lembar kerjaku terpasang di dinding kelas, aku menepelnya di meja.
'Berusahalah!'
Sebuah potongan kertas kecil yang hampir selalu kubaca saat mengikuti kelas kaligrafi.
Siapa bilang jalan ini akan mudah?

Komentar

Postingan Populer