I Love Dangdut 2





"Say, aku lagi butuh duit nih buat modal ikut audisi."
"Kemarin kan baru aku kasih lima juta, masa habis?" jawabku heran.
"Itu kan cuma buat beli baju. Apa kamu gak mau dukung aku lagi?" Tatapan lembut Rahmat membuatku iba, walau sedikit muak dengan tingkahnya akhir-akhir ini.
"Berapa?"
"Sepuluh juta."
"Gila!" Aku hampir teriak.
"Kamu mau rahasia kita aku bongkar ke Iqbal?"
Aku merasa terancam. Ternyata Rahmat hanya mempermainkanku. Perlahan tapi pasti berusaha memeras. Seingatku hampir setiap minggu aku mengiriminya uang sepuluh juta.
Sial!
Dia merelakan uang tempo hari hanya untuk mendapatkan yang lebih besar.
"Okey, nanti aku transfer," jawabku lesu.
"Thanks, Say," jawabnya sambil memelukku. Saat ini sungguh dada terasa sesak, punggung juga sakit. Merasa kehilangan, sangat.
Aku telah kehilangan kekasih. Seorang yang pernah kuanggap berharga ternyata tak lebih dari parasit yang menyakitkan.
Tak mungkin kubiarkan rahasia itu diketahui Iqbal. Tapi, membiarkan keadaan seperti ini juga bisa membuatku mati perlahan.
Sejenak rasanya darah tak mengalir dalam pembuluh-pembuluh di area wajah. Dingin dan kaku yang kurasakan saat ini.
"Permisi, aku harus ke toilet."
Kutinggalkan musuh dalam selimut itu sendirian. Biar dia bisa tersenyum puas atau bahkan terbahak atas kemenangannya. Sementara aku sekuat tenaga meredam nyeri.
Aku harus menyusun rencana untuk melenyapkan Rahmat sebelum Iqbal tahu semuanya. Semoga masih ada cukup waktu.
"Kurang ajar kau Rahmat!" rutukku pada cermin toilet.
***
Rasa bersalah mulai menghantuiku. Siang dan malam tak bisa tenang. Untuk pertama kalinya aku merasa takut. Sangat takut.
Ingatan tentang masa kecil hadir. Membawa kenangan buruk tentang keluarga miskin dengan lima anak. Saat itu aku harus selalu bisa sampai di meja makan terlebih dahulu untuk bisa mendapat satu potong tempe dan nasi. Atau jika tidak, menu makan hanya nasi dan garam.
Kami saling berebut satu sama lain. Walau ibu sering menasehati, tapi rasa lapar sepertinya lebih kuat menguasai kami ketimbang petuah-petuah wanita lemah yang sering dipukuli ayah itu.
Saat lulus SD, orangtua menitipkanku pada paman Haryadi. Mereka melakukan itu karena tak sanggup lagi menghidupi anak-anaknya. Sebagai anak kedua aku pun setuju, mengalah pada adik-adikku.
Paman Har-lah yang menyekolahkan dan mengajariku berdagang di tokonya. Sepulang sekolah aku akan berada di toko yang akhirnya diwariskan padaku dan sekarang menjadi penopan hidup, ACT Clothing Factory.
Paman adalah orang paling berjasa dalam hidupku. Aku ingat betul bagaimana ia bisa sukses berdagang pakaian dengan menyingkirkan saingan-saingannya. Tak jarang dengan cara yang keji. Seperti yang baru saja kulakukan pada temanku sendiri, Iqbal.
Namun, rasa bersalah begitu erat menjerat. Membuatku sulit bernapas. Aku begitu tersiksa. Lagu-lagu dangdut terus bergema tanpa kuperhatikan. Akankah rasa bersalah ini hilang, atau malah membunuhku?
-done-
#odop Rabu 9 Maret 2016

Komentar

Postingan Populer