Tak Berhantu




***

Aku tak percaya hantu atau semacamnya. Mereka yang mengaku ditakut-takuti hantu hanyalah orang yang penakut dan dihantui halusinasinya belaka. Apa itu hantu, hingga usia menginjak 40 tahun belum sekali pun aku melihatnya. Hantu adalah dongeng untuk anak-anak penakut. 

Satu hal yang kupercaya, bahwa hantu itu tidak ada. Namun, salah besar jika menganggap tempat tak bernyawa. Sebuah tempat akan merekam apa yang terjadi di sana, kelahiran, kematian, tangisan keputusasaan, dan tempat itu pula yang akan mengulang-ulang kejadian itu. Seperti gramaphone, yang memutar ulang rekaman di piringan hitam. 

Kisahku dimulai 23 tahun yang lalu. Saat itu usiaku 18 tahun. Bersama Perly, gadis impian hampir semua pemuda, aku memulai hidup baru. Menikah di usia muda tersebab gadisku mengandung anak hasil hubungan kami. 

Dengan uang yang kumiliki, mustahil rasanya membeli rumah untuk tinggal. Berhari-hari sebelum pernikahan sederhana, aku mencari rumah sewa. Keterbatasan membuatku harus menyewa sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Sedikit jauh dari pemukiman. 

Tentu aku senang. Rumah itu sederhana, kecil, memudahkan Perly untuk membersihkannya. Banyak tanaman hias tak terurus, itu bisa menjadi kesibukkan untuk gadisku selama aku bekerja di toko roti Paman Harris. Tepat setelah pernikahan aku membawanya ke rumah yang damai ini. 

Hari-hari berjalan begitu indah dan menyenangkan. Walau beberapa orang 
di supermarket sering memberi peringatan bahwa rumah yang kami tinggali itu berhantu, namun aku tetap percaya bahwa hantu itu tidak ada. Bunga-bunga bakung tumbuh dengan indah di bekas kolam. Tumbuh pula bougenvile, anggrek tanah juga mawar yang indah. Istriku benar-benar menjadikannya sebagai kesibukan yang menyenangkan.

Suatu pagi aku tidak masuk kerja, demi menemani Perly barangkali gosip tetangga telah sampai di telinganya. 

"Apa kau takut saat aku tinggal pergi?" selidikku. 

"Tentu tidak. Apa perkataan orang-orang mulai mengusikmu James?"

Aku menggeleng. Dia memang seseorang yang sangat istimewa. Terlebih saat rambut pirangnya seakan menyala-nyala di bawah sinar mentari senja. Pipi itu masih merona seperti saat pertama kami berjumpa. Semakin hari perutnya semakin membuncit. 

"Apa aku masih cantik?" Dia berputar sambil sesekali mengelus perut. 

"Kau semakin cantik," balasku. Kukecup perut dan keningnya. 

"Aku harus berangkat." 

Kutinggalkan dia seorang diri. Andai bisa sebenarnya aku ingin selalu bersama. Namun itu hal yang nyaris mustahil bagi orang dewasa. Bagaimana pun harus ada yang selalu berangkat kerja. 

Para tetangga semakin sering bergosip. Terakhir saaat aku hendak membeli susu di supermarket. Eugene, seorang lelaki paruh baya menegurku. 

"James, berpikirlah dua kali untuk tetap tinggal di sana. Aku kerap mendengar istrimu menjerit-jerit di sore hari."

"Benarkah? Tapi Perly-"

"Dia mungkin ingin merahasiakannya darimu."

Perkataan Eugene sangat menggangguku. Aku hampir tak bisa tidur semalaman. Jika memang tempat ini berhantu, harus kemana lagi aku pindah. Sedangkan keuangan kami masih sangat rapuh. 

"Apa benar yang mereka bilang?" tanyaku saat sarapan. 

"Tentang apa?"

"Hantu."

"Ayolah, James. Kitas udah sepakat akan hal itu. Tak ada hantu."

"Tapi, apa benar yang mereka katakan?"Aku masih penasaran. 

"Itu hal biasa. Aku hanya merasa tidak cantik akhir-akhir ini."

Merasa tidak cantik. Aku bisa mengerti itu. Dengan perut yang gendut seorang wanita akan menganggap dirinya tidak cantik. Mungkin dia tidak siap untuk hamil dan punya anak. Namun hal itu terasa ganjil saat kudapati dia menangis meraung-raung di malam hari. Di tengah tidur dia berteriak, "Aku tidak cantik, tolonglah, aku tak lagi cantik."

Tangisan itu begitu memilukan. Selama kami bersama bahkan melewati masa yang sulit tak pernah rasanya dia sesedih ini. Aku berinisiatif untuk mengumpulkan uang agar bisa menyewa tempat lain yag lebih baik. Tak jarang aku pun menjual jatah rotiku. 

Kuberanikan diri menemui Eugene sebelum pulang ke rumah. Barangkali orang ramah itu mau membantuku. 

"Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu?" Aku bertanya setelah dipersilakan masuk dan meminum teh sore bersama beberapa biskuit tawar.

"Pernah ada seorang gadis yang cintanya ditolak. Sebenarnya dia dijodohkan dan hampir menikah, tapi setelah sang pria melihat rupa gadis itu dia membatalkan pernikahan yang telah direncanakan. Gadis itu patah hati, dan mati bunuh diri."

"Apa yang terjadi pada keluarganya?"

"Mereka pindah setelah menjual rumah itu."

Aku memang sudah berencana pindah. Kasihan melihat Perly harus terganggu dengan mimpi buruk atau suasan mencekam setiap saat. Dengan uang yang sudah terkumpul, paling lambat minggu depan kami bisa pindah ke tempat baru. 

Aku berjalan kira-kira 200 meter dari rumah Eugene menuju rumah. Semoga Perly senang dengan kabar yang akan kusampaikan. Langkahku terasa ringan, seolah beban sudah tak mengganggu lagi. 

Pintu rumah tak dikunci mungkin Perly ada di ruang tengah atau di dapur. Aku masuk dan langsung mencari keberadaan Perly. Dapur, ruang tengah, tak ada. Aku naik ke kamar di lantai dua. 

"Aku tidak cantik. Aku tidak cantik." Terdengar rintihan Perly yang begitu menyayat hati. 

"Astaga! Perly, apa yang kau lakukan?!" 

Tangannya memegang pisau, urat di tangan kiri nyaris putus.

"Jangan mendekat!"

"Ini aku, ini aku, Perly.Kumohon biarkan aku menolongmu," pintaku. 

"Menjauhlah."

Pisau itu dia hunjamkan langsung ke dadanya. Perly terkapar bersimbah darah. Dia meregang nyawa. Kejadian yang terjadi beberapa puluh tahun lalu, terulang dan sialnya itu terjadi pada orang yang sangat kucinta, Perly. 

Begitulah hidupku, tak pernah sekalipu nbertemu hantu hingga hari ini kutuliskan cerita tentang masa lalu. Hantu hanya dongeng untuk menakuti pengecut. 


Komentar

Postingan Populer