Silent Rider



---
Tak ada yang tahu profesi sampinganku. Terlihat biasa dan terkesan ramah itu yang selalu tampak pada diri yang berusia 23 tahun ini.
Setiap yang kutemui adalah teman. Pedagang, tukang sapu, guru, petani, pokoknya siapa saja yang ada di setiap tempat yang kudatangi.
"Hai! Maaf menunggu lama," sapa As, cowok yang baru kukenal seminggu setelah dua bulan chatting via sosmed.
"Gak apa."
Kami ngobrol-ngobrol di sebuah outdoor kafe. Sambil sesekali menanyai perihal tunggangan yang ia bawa. Aku mau tahu persis tentang itu.
As berbaik hati menjelaskan semuanya. Aku beruntung mengenal dia.
"Oh tidak! Aku lupa sesuatu. Aku harus transfer sejumlah uang ke mama."
"Sekarang? Ayo aku antar." As menawarkan.
"Nggak usah. Aku sendiri aja. Nggak akan lama. Boleh pinjam motormu?"
Sejenak As ragu sebelum kemudian menjawab ya. Kutinggalkan dompet dan handpone di atas meja agar dia percaya.
"Mana STNK?"
"Kamu nggak bawa dompet?"
"Sini aja. Tunggu ya."
Aku bergegas menemui boss. Dia akan senang dengan hasil temuanku saat ini. Tak sia-sia meninggalkan dompet kosong dan HP bobrok.
I am Saphira. And I am a Silent Rider.
***
Perjalanan menuju markas lancar sebelum ada seseorang yang mengejarku. Kulirik spion, lajunya cepat dengan helm fullface.
Aku hampir terkejar. Sedikit panik, motor bermanuver di jalan raya. Karena tak ingin ditilang, aku masuk ke sebuah jalan yang lebih sepi. Sementara orang yang mengejar tak lagi tampak.
Ccriiitttttt!
Kampas mencengkeram piringan cakram. Dua motor matic lebay memblokade jalan.
"Sial!" umpatku.
Saat hendak putar balik, si pengejar tampak sudah berada di sana. Dia membuka helm. Tampak rambut lurus klimismya dengan poni a la Cleopatra.
"Sudah kuduga kau akan lewat sini, Bitch!" ledeknya.
Bisa kulihat paha mulus dari badan gemuk setinggi kira-kira 150an centimeter. Hotpants yang dikenakan tak mungkin lebih murah dari Zara.
Gadis itu mendekat. Aku berniat melarikan diri saat tiba-tiba boots-nya mendarat di dadaku.
"Jangan lari, Pengecut!"
Buk! Satu jotosan mendarat di wajahku. Pasti dia tidak tahu berapa biaya facialku setiap minggu. Tidak menghargai.
Wajahnya mendekat. Aku yakin gadis itu memakai lip tint yang mungkin buatan Korea. Mata lebarnya palsu. Dia pasti memakai skot untuk mengakalinya.
Aku berpikir, berapa lama gadis sok jagoan itu belajar make up. Lebih lanjut, berapa botol make up remover yang dibutuhkan setiap bulan.
"Bitch, you're done!" Gadis itu menggeleng manja.
"Kamu berurusan dengan orang yang salah. Girls," panggilnya pada kedua gadis lebay.
Mereka mendekat, menghajarku. Sia-sia melawan, karena mereka sepertinya terlatih. Setelah puas membuatku babak belur, ketiga gadis lebay itu mengikat kedua tanganku.
"Halo. Papa. Iya, datanglah secepatnya." Samar-samar kudengar dia bicara di telepon.
Tak lama polisi datang. Gadis itu menghambur ke salah satu anggota polisi yang dipanggil komandan. Jijik melihatnya memeluk lelaki tua. Walau kuakui dia pengendara yang seksi.
"Zahra, papa sudah bilang ini bahaya, Nak."
"Aku tak bisa diam jika korbannya adalah orang yang kucinta, Pa."
Anggota polisi lain memborgol dan menaikkanku ke mobil patroli. Seseorang datang, As.
"Beb, aku ada urusan denganmu. Kita harus bicara."
Kulihat cewek bernama Zahra marah pada As. Tak bisa kusimak apa yang terjadi lagi saat mobil patroli berjalan membawaku, si tersangka.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer