Lalu Lintas Rasa






Lalu Lintas Rasa

"Jangan ngebut," katanya. Aku hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum semanis madu.

'Jangan' adalah kata silakan yang lebih menantang. Yang kutangkap adalah, mengebutlah jangan ragu. Jalanan aspal dan terik matahari adalah sahabat. Setiap kilometernya memberi cerita. Mengukir sejarah dalam hidup wanita ini; dalam perjalanan menuju dewasa.
Ayahku tak pernah melarang. Kami_anak-anaknya_diperlakukan sama. Mendapat fasilitas, aturan, dan tanggung jawab yang nyaris sama.

Hanya beda perlakuan, karena aku tidak leluasa memeluk ayah seperti juga dua saudara laki-laki yang bahkan kerap tidur bersama.

Sebenarnya, aku bukanlah gadis merepotkan yang harus diantar jemput kesama kemari. Aku cukup mandiri dan tepat waktu. Dia tak perlu melalukan hal yang sulit.
Tapi entah apa yang ada di pikiran Aji. Kenapa akhir-akhir ini dia sering sekali bersama Hesti.


"Maafkan aku, Van." Sudah kuduga! Punggungku sakit seketika. Menyembunyikan mata yang memanas jauh lebih sulit daripada sekadar membersihkan karburator atau menambal ban bocor.

Karena kebocoran perasaan, akan membuatku menuai deraian cairan hangat tak terbendung. Ini sulit, sungguh. Lebih sulit dari meminta ayah untuk mengijinkanku bergabung dengan band.

"Iya," jawabku sekenanya. Entah apa yang aku iyakan. Saat ini aku ingin mengambil kunci roda, lalu menghantamkannya ke badan Aji.

"Aku butuh seseorang, yang bisa kulindungi." Sudah pasti, sangat pasti itu bukan aku.
Hesti cukup manja dan cantik, sekaligus merepotkan. Itu, itu yang Aji mau. Bukan aku, gadis mandiri yang selalu terlihat kuat. Yang bahkan sangat jarang terbaring sakit, jika saja tak mengalami kecelakaan.

Raungan motor berkapasitas 150cc, cukup untuk menggetarkan hatinya. Tak terlalu besar memang, tapi nyata nyalinya memang tak sebesar itu untuk merasa cukup melindungiku. Dia lemah. Itu pasti.

Dan untuk sesaat aku akan membiarkan hati ini berduka. Melaju di atas roda, mengukur jalanan aspal. Berhenti dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya.
Karena Aji, tak ubahnya seperti lampu lalu lintas itu. Saat dimana aku harus berhenti sejenak, untuk kemudian melaju lagi.

"Jangan ngebut," katanya.
"Aku nggak bisa janji, Ji."

#cergun patah hati yang ditulis seribu duaratus tahun yang lalu.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer