Cerli: Gara-Gara Film





Aku terbangun dari tidur karena haus. Rasanya tenggorokanku kering sekali. Tapi alangkah terkejutnya ketika tidak kudapati Ananda dan Mas Koko. Kemana mereka?
Segera kukeluar kamar, mencari anak dan suami barangkali mereka tertidur di ruang depan. Tidak biasa-biasanya begini, karena setiap malam kami selalu tidur bertiga. Di depan TV pun tak ada siapa-siapa.
Aku kembali ke ruang tengah di mana ranjangku berada lalu mencari ke ruang dapur dan kamar mandi yang berada paling belakang. Nihil. Tiada siapapun.
Kemana mereka?
Aku segera meraih ponsel untuk menelepon barangkali mereka pergi. Tapi ke mana? Ini sudah malam.
Aku kaget bukan kepalang ketika mendengar lagu Samsung begitu kencang. Itu hape suamiku. Ada di sini tanpa pemiliknya.
"Mas? Mas di mana?" panggilku mulai merasa takut. Aku takut sendirian.
Dug! Dug!
Suara dari dapur, sepertinya dari atas plafon.
Dug! DUG! Dug! Dug!
Suara itu semakin kencang dan semakin cepat nyaris tanpa jeda. Sebentar lagi plafon dapur pasti jebol. Apa gerangan yang ada di baliknya?
Demi mendengar suara menakutkan itu aku berteriak dan berlari keluar.
"Aaaaaaa, tolooong!"
DAR!
Pintu kayu tertutup kencang seperti dibanting oleh seseorang. Ketika kucoba membuka terkunci. Aku terkunci di luar, sendirian. Sepi.
Di depan rumah kontrakan adalah kebun pisang yang sebagian diisi kandang sapi dan ayam. Gelap. Pintuku nomor tiga dari kiri. Aku berjalan ke halaman. Berharap salah satu atau lebih tetangga ada yang keluar, membukakan pintunya, dan mengizinkan aku masuk. Aku sungguh ketakutan.
Aku menatap ke 12 pintu yang berderet berurutan. Belum ada tanda-tanda ada yang membukakan pintu.
Tiba-tiba lampu kontrakan nomor satu mati, diikuti lampu kontrakan nomor dua, tiga yaitu tempatku, empat, lima, berurutan sampai nomor 12 semuanya mati.
Malam semakin gelap. Aku menoleh ke arah kebun pisang. Tak ada apa-apa. Ke arah pohon kersen yang ada di ujung depan kontrakan nomor 12 dan 7 yang ada di tengah, gelap.
Rimbun daun-daunnya yang kerap berguguran menambah gelapnya suasana.
Kini aku berdiri di depan kontrakan nomor 5 yang berhadapan langsung dengan fondasi rumah yang belum dibangun. Hanya batu-batu yang sudah membentuk fondasi sebuah bangunan rumah.
Prang! Pring! Krak!
Dadaku naik turun ketika mendengar suara bising dari beling-beling yang terbentur fondasi rumah yang belum jadi. Ketika menoleh tidak ada siapa-siapa. Tapi beling-beling itu seolah ada yang melemparkan dan menginjak-injaknya. Berisik. Udara di sekitarku terasa menipis dengan tajam. Aku bernafas susah payah, cepat, tapi pendek-pendek.
"Tolong."
"Mas! Mbak!"
Aku menghentikan suaraku yang terasa menakutkan didengar ketika sepi sekali. Iya bahkan aku takut pada suaraku sendiri.
Lampu kontrakan nomor 3 meyala. Pintunya terbuka. Aku melangkah pelan sambil terus bernapas pendek-pendek. Seluruh otot di tubuhku menegang dan kaku.
Sebuah ember keluar dari pintu. Itu ember yang biasa kugunakan mengepel lantai. Perlahan-lahan kakiku melangkah mendekat, satu, dua, apa yang ada dalam ember itu?
Aku sangat ketakutan tapi juga penasaran. Akankan seperti di film-film horor yang mana akan ada darah, atau kepala manusia? Sial! Ini semua pasti gara-gara Farid Efendi yang mengirimiku berkas film-film horor. Aku jadi paranoid begini.
Ember itu ternyata kosong. Aku bisa sedikit memelankan nafas. Pintu tak lagi terkunci. Aku masuk meskipun takut. Di luar maupun di dalam sama takutnya. Jadi mau tak mau aku harus terus bergerak. Ini malam apa sih? Kenapa kejadiannya aneh sekali?
Di dalam ada lilin-lilin menyala. Lampu padam seketika. Aku melonjak, jantungku hampir copot rasanya. Kalau tak salah aku melihat sesosok perempuan berambut panjang dengan gaun yang panjang menjurai. Siapa dia?
Jadi dia hantunya? Wajahnya cantik, sama sekali tidak menyeramkan. Apakah dia ingin menyampaikan sesuatu padaku?
Saat ini aku sudah berada dalam puncak ketakutan. Tubuhku mematung kaku. Tak bisa bergerak. Aku hanya bisa melirik ke kana dan kiri sambil bernafas pendek-pendek.
Wanita itu bergerak ke arahku, dadaku semakin cepat naik turun. Air mataku menetes saking takutnya. Tiba-tiba gaunnya tersangkut sesuatu. Sosok itu terus mencoba meraihku tapi tidak berhasil. Apa yang menahan gaunnya sehingga ia tidak bisa melangkah lagi?
Dia bersusah payah maju, tapi tak bisa. Tangannya terjulur mencoba meraihku yang kebingungan antara menolongnya atau lari. Mungkin ini kesempatan terbaik untukku melarikan diri. Tapi di sisi lain aku juga penasaran. Wajah wanita itu berubah menjadi sendu dan memelas, seakan bisa membaca niatku meninggalkannya. Lalu akupun urung pergi dan hendak melangkah maju ketika tiba-tiba kepalanya copot dari badannya dan menggelinding ke arahku!
“TIDAAAAAAK!”


Komentar

Postingan Populer