Rumah Merah
RUMAH MERAH
pixabay.com |
Ananda sudah
beberapa hari rewel akibat deman yang tak kunjung turun. Suhu tubuhnya seperti
kedelai peraman kedelai yang telah dicampur ragi, hangat mendekati panas.
Langkah berobat ke tenaga kesehatan pun tak membuahkan hasil nyata selain dari
tidur yang sekejap-sekejap saja.
Aku sudah
teramat lelah, ketika masa kerja eh salah, masa pengabdianku tidak bisa ditunda
barang sehari dua untuk fokus mengurus ananda yang kini usianya masuk bulan ke
11. Tubuhnya mulai berbobot dan cukup membuat tanganku pegal linu, terlebih
ketika dia menangis sambil meronta-ronta.
Makanan untuk keluarga, kenyamanan rumah,
pakaian bersih merupakan hal wajib yang harus aku hadirkan setiap hari, tak
terkecuali. Tidak peduli warna angka di kalender. Sementara lelakiku, tidak
boleh berharap banyak padanya. Aku tidak menyalahkan sepenuhnya, karena dia dididik
dalam suatu keadaan di mana orang-orang berprinsip bahwa laki-laki harus
dilayani dan gender lainnya sebagai pelayannya.
Berhari-hari
menangis, membuat badan ananda menipis. Hal itu menimbulkan kekuatiran bagi
kami beserta keluarga besar. Salah satu kakak kami menyarankan agar membawa
ananda berobat ke orang pintar yang ada di luar kota.
Aku tak
berpikir panjang kala itu. Yang terpikir adalah bisa keluar dari rutinitas
harian yang amat sangat menyita waktu yang kemudaan! Jika tetap begini
bisa-bisa aku terlihat seperti nini-nini sebelum akhirnya mati berdiri.
Kakak bilang,
ada seorang paranormal yang terkenal di kota sebelah yang sedang kami tuju.
Menyewa sebuah mobil kami berangkat pagi-pagi sekali dari Bekasi. Sesampainya
di salah satu kota di Jawa Barat, kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan,
terus dan terus melewati sawah, kebun-kebun, sebelum akhirnya kami melewati jalan
menanjak di tengah hutan.
Laju
kendaraan melambat, ada jurang di sisi kiri yang siap menelan siapa saja yang
mengemudi dengan lalai. Hampir dua jam kami melewati jalan sepi. Menurut peta,
jalan ini pulalah yang bisa membawa kami pulang lebih cepat ke Bekasi. Jadi
semacam jalan pintas.
Perlahan-lahan
terlihat sebuah rumah merah. Rumah orang pintar yang menjadi tujuan kami. Di
hutan yang semuanya berwarna hijau dan cenderung gelap, rumah itu terlihat
kontras. Tapi bukan itu yang menjadi fokus pikiranku saat ini. Namun anada yang
sedari tadi tidur begitu tenang dan nyenyak.
Rumah itu
tidak berpintu. Bagian dalam dan luar di bagian depan hanya dipisahkan oleh
semacam tirai dari akrilik berwarna senada yang tergantung di sepanjang sisi
depan. Bunyinya bergemericik ketika kami masuk yang disambut oleh seorang
wanita tua dengan perut yang besar.
Nenek itu
seperti orang hamil dan berjalan dengan kepayahan karena perutnya yang besar.
Dia bercerita bahwa rumah ini dulunya milih sepasang sejoli muda, namun ditinggal
begitu saja karena berpisah. Sudah tak seiya sekata. Mengetahui maksud dari
kedatangan kami, nenek itupun menjelaskan bahwa orang yang kami cari bukanlah
dirinya melainkan suaminya. Sambil terus bercerita nenek itu mengeluarkan
beberapa butir kelapa hijau dan buah stroberi untuk kami. Lalu di depan mataku,
nenek itu membuka kulit kelapa yang tebal menggunakan buah stroberi.
“Kita jangan
menyakiti alam dengan benda tajam. Benda tajam adalah haram bagi kami. Karena
alam telah begitu baik menyediakan apa-apa yang kita butuhkan.”
Aku
tercengang, bagaimana bisa sebuah stroberi membelah kulit kelapa? Namun demi
menjaga perasaan nenek, kami meminumnya juga. Sangat menyegarkan.
Dengan
takut-takut kami masuk ke dalam rumah
mengikuti langkah si nenek. Ada dua kamar bersisian di bagian paling belakang
rumah. Nenek masuk ke kamar sebelah kanan. Mungkin di situlah kakek berada.
Nenek itu
kemudian berbaring di atas tempat tidur. Kami yang kebingungan pun
bertanya-tanya di mana kakek itu. Seperti bisa membaca pikiran kami, wanita tua
itu menjawab, “Di sinilah suamiku.”
Tapi kami tak
melihat apa-apa. Beberapa saat kemudian, keanehan pun terjadi. Wajah sang nenek
berubah secara samar-samar menjadi wajah lelaki, lalu kembali menjadi wajahnya,
berkali-kali. Ketakutan tumbuh dengan cepat dan kuat dalam diriku.
Wanita tua
itu menjerit-jerit di atas tempat tidur. Seperti merasakan kesakitan luar
biasa. Aku dapat membayangkan itu sementara pendengaran kami dipenuhi dengan
jerit dan erangan si nenek. Tak lama berselang, di antara dua kakinya muncul
tangan manusia. Ketika tangan itu muncul, nenek hampir kehabisan napas.
Suami
menyuruhku tetap menggendong ananda dan bersembunyi di kamar sebelah. Entah apa
yang terjadi selanjutnya di kamar itu. Apakah nenek sudah berhasil melahirkan
suaminya? Lalu mengapa suaminya tinggal dalam tubuh yang renta?
Tanya demi
tanya membanjiri otakku. Suami dan kakak menarik lenganku keluar dari
rumah merah itu. Ketika tiba di tirai
akrilik, kakak menelepon polisi. Kami cepat-cepat pergi dari sana. Ketika
hendak melanjutkan perjalanan melalui jalan pintas, ternyata akses jalan tak
bisa dilewati kendaraan. Mau tak mau, kami putar balik melewati rumah merah itu
lagi.
Pelan-pelan
menuruni bukit dan terbayang jalan pulang… Kami lega. Tapi apa yang telah kami
minum tadi di rumah merah yang aneh itu?
WAKKAKA serem ampun... ternyata twistnya begituu... great story
BalasHapusnghhhhaaa, sering mimpi aneh2
Hapusnyesel baca.....kabooorrr....bhahaha...
BalasHapusaaahhh.. tidaaaaaa........
HapusWooooh, dipoles lagi, Wen!
BalasHapusKirim!
Hapusπππmodal tidur