ECHALENGAN




Echa menatap getir punggung temannya yang semakin menjauh sebelum akhirnya menghilang di ujung jalan. Perlahan ia memunguti serpihan tanah liat yang tercerai-berai di hadapan.
Apa salah Echa? Kenapa dia harus mengalami kepahitan yang demikian. Hati kecil gadis bertubuh mungil itu protes.
Dia telah terbiasa berpikir bahwa dirinya memiliki jawaban atas segalanya. Tapi tidak kali ini. Hidup nyaman bukanlah teman yang setia.
Hingga tiba saatnya tumbuh menjadi wanita dewasa yang terluka. Sakit oleh masa silam yang kelam. Menutup diri dari banyak pintu-pintu pertemanan. Tak ingin lagi tersakiti oleh karamahannya sendiri.
Echa yang malang, sangat mudah dimanfaatkan. Cinta telah menjauh dari jiwanya yang penuh kasih sayang.
Usianya 27 tahun saat Echa duduk di bangku taman sebagai wanita dewasa yang elegan, menyendiri sambil mengamati keadaan sekitar. Ia sangat menikmati pemandangan penuh warna di sana, juga tawa bocah-bocah lucu yang polos yang membangkitkan ingatan tentang dirinya belasan tahun yang lalu.
"Maamaaaa!" teriak anak kecil berkepang yang usianya kira-kira tak lebih dari lima tahun. Dia terus menangis dan berteriak memanggil mama. Namun tak seorang pun datang menghampiri.
Tergerak akan rasa simpati, Echa bangkit dan segera menghampiri gadis kecil bergaun biru. Menenangkan serta membersihkan luka di lututnya dengan tissue.
"Tak apa. Tak apa. Nanti pasti sembuh." Pada anak kecil saja Echa merasa canggung.
"Aku mau mama." Anak itu merengek.
Echa sama sekali tak punya ide di mana kira-kira orang tua anak itu. Mengapa ada orang yang membiarkan anak bermain tanpa pengawasan orang dewasa.
Berikutnya ketika memberanikan diri bertanya, justru jawaban tak terduga terucap dari bibir mungil nan polos itu. Bahwa mama ada di surga, katanya. Sama sekali tak terduga sehingga membuatnya beku sejenak.
"Malika."
Echa menoleh ke arah datangnya suara. Kali ini dia berlipat kali lebih terkejut ketika mendapati orang yang baru saja menyebut nama Malika. Itu wajah yang sangat dikenalnya, orang yang sama dengan pujaan hati di kala remaja.
"Papa!" Si anak menghambur ke arah lelaki yang baru saja datang dan melanjutkan tangisnya. Mengadukan apa yang baru dialami. Persis seperti dirinya dulu, yang selalu punya tempat untuk menumpahkan segala rasa. Meminta segala perhatian dan bantuan.
Hingga dia tumbuh begitu rapuh dan tergantung pada orangtua.
"Echa? Terima kasih telah menolong Malika. Bagaimana keadaanmu?" Canggung Pras bertanya dan ingin memastikan semua baik.
"Baik, Mas. Kenapa kamu biarkan dia main tanpa pengawasan?"
"Iya aku memang ceroboh. Tadi Malika minta es potong, tapi saat kukejar entah kemana penjualnya pergi."
Mereka terlibat obrolan yang mulai menghangat. Tentang keluarga kecil Pras, tentang kehidupan Echa yang dingin. Sungguh jalan yang benar-benar berbeda yang mereka tempuh.
Bagaimana Pras memilih menikah muda saat usianya baru menginjak 20, dan bagaiaman Echa memilih terus menyendiri setelah kejadian itu. Echa bisa saja menuntut Pras yang telah menghancurkan hatinya, namun semua itu sudah menjadi pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.
Dia sadar, Pras tidak pernah meminta Echa terus menutup diri. Ada perasan sedih yang hadir di sana, namun tak bisa dipungkiri ada rasa bahagia mulai mengalir menghangatkan mereka. Dua orang manusia yang telah lama tak berjumpa.
"Kalian tinggal di mana?" selidik Echa.
"Kami tinggal di rumah kawan di dekat sini. Ini hari terakhir kunjungan kami ke sini. Malika harus kembali bersekolah pekan depan."
Keesokan harinya Echa yang telah akrab dengan Malika turut melepas kepulangan mereka. Sebuah kotak ia bawa sebagai hadiah untuk teman barunya itu.
"Apa isinya?" tanya Pras.
"Itu sebuah celengan."
Pras tak menyangka bahwa Echa akan memberika sebuah celengan dari tanah liat. Lelaki itu merasa sangat bersalah atas apa yang telah ia perbuat belasan tahun yang lalu.
"Itu mengingatkan aku akan-"
"Sudahlah, Pras. Tak apa."
"Maafkan aku," ucap Pras penuh penyesalan.
"Tentu. Andai aku boleh tahu, kenapa dulu kamu memecahkannya?"
Muka Pras memerah jika mengingat hal itu. Namun dia masih mempertimbangkan untuk menjawab dengan jujur atau membuat alasan.
"Tolong jawab," desak Echa.
"Itu karena, aku, aku cemburu."
"Hemh?"
"Iya. Dulu siapa saja kamu baiki. Itulah yang membuatku cemburu."
"Nyatanya kamu meninggalkanku dan menikah dengan orang lain."
"Tapi dia bukan jodohku, nayatanya ia pergi lebih dulu."
"Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah tahu jawabanmu."
"Seperti juga celengan ini, kamu harus membuka diri, Echa. Agar mampu menerima apa yang seharusnya kamu terima."
Malika memeluk Echa sebagai tanda perpisahan. Ada sesuatu yang mulai memanas dalam dada Echa. Pertemuan singkat dengan Pras, mungkin akan jadi awal yang baru dalam hidupnya.
Echa bersenandung sepanjang perjalanan pulang. Ah, betapa lugunya wanita itu!
Bekasi, November 23

Komentar

Postingan Populer