Juminten



Aku tinggal di sebuah kamar mirip bangsal rumah sakit. Singel bed berjejer dengan jarak satu buah rak untuk menampung beberapa lembar pakaian. Di sebelah kanan, tempat tidur Ifah dan di sebelah kiri tembok. Tempat tidurku dekat pintu yang terbuat dari kaca.

Di gedung ini, pintu-pintu kamar berderet berhadapan dan kesemuanya bergorden warna pink. Saat sedang bercengkrama di kamar dengan Ifah dan yang lain, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara mobil.

Saat melihat ke luar kamar, benar saja ada sebuah mobil mewah klasik berjalan di lorong antar kamar.

"Apa itu?" tanya Ifah.

"Mobil klasik warna pink." Aku menjawab penuh kekaguman. Mobil itu berjalan perlahan, di belakangnya berjalan dua orang gadis yang cantik. Perawakan mereka tinggi, berpakaian formal serba pink dan ber-make up tebal. Sepertinya mereka pelaris dagangan.

Alarm berbunyi pertanda kami semua harus berkumpul di aula, tepat di mana mobil itu terparkir. Seorang laki-laki paruh baya berdiri di podium. Dengan masih menggunakan baju tidur kami berlarian menuju aula.

"Aku ingin menikahi gadis di antara kalian. Siapa yang bersedia?" ucap lelaki itu. Seketika aku diliputi rasa takut. Takut jika orang itu memilih dan memaksaku menikah dengannya. Anak buahnya terus memandangi kami satu per satu. Sengaja kututupkan tangan kiri ke wajah, karena takut kecantikanku diketahui oleh orang tampan itu.

Dalam hati aku sangat bersyukur tadi tidak sempat bermake-up. Tapi hidungku yang agak mancung dan garis wajah yang cantik ini tak bisa berbohong. Tetap saja terlihat cantik. Laki-laki tua di podium terus bicara menceritakan kemewahan serta hartanya yang melimpah. Namun sedikit pun aku tidak tertarik.

Dalam hati aku berkata, bisa saja dia kaya tapi pelit. Bahkan aku meyakini itu. Sementara diri ini terus berharap anak buah lelaki tua itu tidak menunjukku. Tiba-tiba, salah seorang wanita mengajukan diri.

Seorang wanita berkulit sawo matang, dan tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 150an centimeter. Selain itu wajahnya juga tidak cantik. Tapi dia bersedia, namanya Juminten. Gadis yang kamarnya berseberangan dengan kamarku. Rasanya sedikit lega.

 Lalu kuberanikan diri bertanya, "Maaf, Pak. Anda bisa saja kan menikahi gadis seperti yang ada di belakang Anda, mereka cantik, putih dan tinggi. Dengan uang yang Anda miliki aku yakin, gadis seperti mereka bisa Anda dapat."

"Saya tidak suka gadis seperti mereka. Yang seperti kalianlah yang aku suka, dan aku butuh enam orang untuk kunikahi."

Seketika kelegaan lenyap atas bersedianya Juminten untuk diperistri. Mati aku! Juminten pasti akan menyesal menikah dengan bandot tua itu.

"Cari yang cantik di antara mereka!"

Saat lelaki tua memerintahkan anak buahnya, kami semua berhambur berlarian ke kamar masing-masing. Dalam ketakutan yang sama, kami segera mengganti baju dengan yang berbeda berharap tak dikenali, kemudian bersembunyi di bawah selimut masing-masing.

Lelaki tua itu tanpa disangka menyambangi setiap kamar, melihat kami. Kupikir nasib baik akan segera berakhir. Namun saat melewati tempat tidurku laki-laki itu langsung keluar. Sebagai gantinya, ia menyuruh anak buah untuk tetap tinggal di kamar. Mengikuti kegiatan kami. Bahkan pemuda tampan itu, berani mengatur dan membentak.

Seperti saat hendak sholat, dia melihat cara kami berwudhu, lalu membetulkan posisi berdiriku. Aku jadi merasa takut karena selalu diawasi olehnya. Mungkin saja, dia akan memilih dan memaksaku menikah denga bosnya.

"Putra sulung pasangan Donna Agnesia dan Darius mendapatkan kesempatan belajar ke Australia ....." Lamat-lamat kudengar suara Saphira. Saat perlahan kubuka mata, ternyata itu tayangan Entertainment News di Net TV. Ternyata aku tadi hanya bermimpi.


Komentar

  1. Kamu tuh ya kalau nulis, renyaaaah buangettttssss, seperti tanpa beban membacanya, pasti menulisnya pun kamu nikmati juga

    BalasHapus
  2. Muehehehe, makasih Kang Dana. :)

    Nggak usah ninggalin link, saya udah tau bkog kang dana. :p

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer