LIANA




"Kamu sama dia pacaran atau cuma sahabatan sih, May?" selidik Liana sambil mebetulkan jilbab di depan cermin.
Sementara Maya hanya mesam-mesem di atas tempat tidur karena dia sudah siap sepuluh menit yang lalu.
Pertanyaan yang dilontarkan teman sekamar itu, bukan baru satu kali didengarnya. Namun seperti biasa Maya tak mampu menjawab pertanyaan itu selain dengan senyum yang entah apa artinya.
"Ah, cepetan Li. Nanti kita telat masuk lagi."
"Oke. Selesai. Ayo berangkat."
Liana bergegas keluar memakai sepatu flat murahan berbahan karet lalu berjalan cepat.
"Li, tunggu."
Maya segera mengejar Liana yang sudah sepuluh meter lebih jauh.
"Makanya pake sepatu yang praktis aja, May."
"Kamu kutunggu malah mau ninggalin akuh."
Sepuluh menit lagi gerbang akan ditutup. Butuh beberapa menit untuk berjalan sejauh 300 meter. Untungnya mereka tiba tepat pada waktunya. Lalu bergantian memasukkan kartu absen ke mesin absen.

“Mas, tadi Liana tanya apa hubungan kita. Aku sama sekali tak mampu menjawabnya.”
“Hubungan kita, kita yang menjalani, kita yang tahu, tak perlulah orang lain ikut campur, May.”
Sebenarnya bukan jawaban itu yang Maya ingin dengar. Tapi sebuah kepastian, sejak hatinya tercuri dua tahun lalu. Tepatnya ketika Maya duduk di kelas dua SMA.
Saat itu, tanpa sengaja ada sebuah pesan masuk ke HP kakaknya.
“Mana uangku?”
Seketika itu juga Maya membalasnya dan menanyakan apakah kakaknya punya hutang pada orang tersebut. Ternyata tidak, dia hanya salah kirim karena sebelumnya HP kakak Maya dipinjam oleh pacarnya.
“Dengan siapa saya bicara?” tanya suara di seberang sana.
“Saya Maya, adiknya Kak Nay.”
“Oh, Kak Nay sudah di Singapore ya?”
“Maaf, apa Kakak kenal dengan Kak Nay?”
“Enggak sih, waktu itu Ratih, pacar saya pinjam hape kakak kamu waktu dia di asrama.”
Itulah awal perkenalan Maya dengan lelaki bernama Iman. Belakangan dia tahu bahwa Ratih menghilang, lalu Maya dijadikan tempat curhat oleh Iman yang lima tahun lebih tua darinya.
Sebenarnya, Maya iri pada Liana yang hampir selalu dikunjungi kekasihnya, bahkan diberi uang ketika kehabisan. Sedangkan Maya, tak ada siapa pun yang dekat dengannya. Itu karena sejak masih sekolah ia menggantungkan harapan pada Iman dan merasa cukup dengan perhatian yang didapatnya walau hanya lewat telepon.
Awal Juli, 2010.
“Aku cinta kamu, May.”
Akhirnya keluar kata-kata itu dari mulut Iman saat perjumpaan pertama mereka setelah sekian lama. Maya, tak jauh dari apa yang Iman harapkan juga sebaliknya. Lelaki di ujung telepon yang kini menjelma nyata itu tak kurang dari apa yang diharapkan Maya selama ini.
Apa yang selama ini Maya harapkan sudah menjadi nyata. Yang pasti Liana juga akan senang mendengarnya.
“Kapan kita akan bertemu lagi?”
Rasanya berat melepas kepergian Iman, karena baru saja semua terasa begitu nyata.
“Semoga tak akan lama lagi, May.”
Iman memberi harapan seperti biasa. Ia paling bisa mempengaruhi Maya. Bahkan walau hanya dengan SMS atau telepon. Lagipula untuk bertemu Maya, Iman harus naik bus dan menempuh perjalanan selama enam jam.
“Terima kasih sudah datang.”
Tentu saja setelah pertemuan itu Maya sangat bersemangat menceritakannya pada Liana.
“Baguslah kalau begitu, May. Aku senang akhirnya hubungan kalian jelas.”
Kali ini, Maya dan Iman menjadi sering berhubungan lewat telepon, lebih dari biasanya. Semua baik-baik saja sebelum akhirnya Maya merasa jemu. Ia merasa bahwa Iman tak lain hanyalah hayalan belaka.
“Aku bosan, Li.”
“Yah, tadinya aku juga ingin bilang begitu. Masa kamu punya pacar tapi jomblo. Tapi takut kamu marah.”
“Kamu benar, Li. Apa dia benar-benar cinta?”
“Coba kamu minta dia datang lagi.”
“Sudah, Li. Tapi banyak alasan.”

5 Maret 2011
“Ha-halo?”
“Halo, ada apa May?”
Maya terdengar menangis di telepon.
“Mas, apa benar kamu cinta?”
“Kenapa tanya itu? Kenapa kamu nggak tidur?”
“Aku, ingin tahu apakah kamu benar cinta aku. Maukah kamu menikahiku?”

“May? Kamu kenapa?”
“Aku hamil, Mas.”
Lalu Maya sambil tersedu menceritakan bahwa, ia menjalin hubungan dengan teman lelakinya hingga hamil. Lalu ditinggal pergi. Saat ini Maya sangat sedih dan bingung.
“Dia meninggalkan uang lima juta, katanya untuk menggugurkan kandungan. Sekarang dia minggat ke Batam, Mas.”
“Tentu aku akan menikahimu, May. Tak akan aku biarkan kamu menderita.”
“Benarkah, Mas? Bagaimana dengan keluargamu?”
“Tenang, May. Jangan takutkan itu. Yang penting kamu jaga kesehatan ya.”
Seperti biasa suara Iman begitu menenangkan, itu adalah candu buat Maya.
Lama-lama ia tak tahan karena merasa geli sekaligus bahagia sehingga tawanya terdengar oleh Iman.
“May, kamu ketawa? Kamu jangan main-main.”
“Hahaha! Maaf, Mas. Maya bohong. Maya tahu ini tidak lucu.”
“Oh, kamu ngerjain aku. Awas kamu, May!”

Pada hari yang yang ditunggu-tunggu, Maya dan Iman berjalan beriringan memakai baju batik dengan motif yang sama. Keduanya melangkah ke sebuah rumah yang sedang mengadakan pesta.
“Selamat ya, Li.”
“Makasih, May, Man, semoga kalian lekas menyusul.”
“Ah, Li. Aku belum akan menikah kalau umur belum 27. Lagipula sekarang aku melanjutkan sekolah.”
Ya. Iman dan Maya telah bersepakat untuk tidak menikah. Maya melanjutkan pendidikannya sementara Iman tetap bekerja di perusahaan listrik dan siap bertanggung jawab sebagai seorang suami bagi gadis lain.
“Dia lebih siap, Mas.”
“Iya. Maafkan aku, May.”
“Jangan minta maaf, akulah yang mengacaukan semuanya.”
Ratih sengaja meninggalkan Iman karena dijodohkan. Ibunya adalah pengajar di asrama calon tenaga kerja wanita. Ketika berteman selama tiga bulan dengan Naya, Ratih bertekad untuk mendekatkan Iman dengan Naya.
Namun akhirnya, Iman justru jatuh hadi pada Maya yang masih sangat muda dan polos. Diam-diam Iman menjalin hubungan dengan keduanya. Hingga tiba saatnya, Maya memilih mengalah demi kakak.
“Mulai sekarang Mas adalah kakakku.”
“Iya, May.”
“Aku tidak menyesal atas apa yang terjadi. Semoga Mas dan Mbak Naya bahagia.”
“Terima kasih, May.”

Di hari itu, tak ada yang patah hati. 

Komentar

Postingan Populer