EVENT TEMA BURUH PABRIK: AKU MENANG LAGI
Halo, Sobat Gorgeous!
Senang bisa bikin post lagi. Kali ini aku mau cerita lagi mengenai event yang diselenggarakan di Facebook pribadi Kak Susi Musiyam, penulis novel ATSBP. Nah, novel ini sendiri seingatku dulu dibuat cerbung dan di-post di Facebook.
Nah, dalam rangka terbitnya novel ini Kak Susi mengadakan kenduri yaitu bentuknya lomba cerpen yang mana juara satunya akan mendapatkan novel ini, Asmara Terlarang Sang Buruh Pabrik.
Di situ para peserta diminta untuk post satu buah cerpen dengan tema 'Buruh Pabrik' sesuai dengan tema novelnya. Event ini sendiri mmmm, berlangsung di bulan April 2019 dan Alhamdulillah aku juara dua... yeyeye.
Pada waktu pengumuman event sebenarnya aku mau setor pertama, jadi kayak cus langsung bikin gitu. Eh, nggak taunya badanku capek dan lagi kurang fit, jadi aku cicil-cicil nulisnya dalam sehari itu. Ternyata gagal pertama, karena ada peserta yang setor duluan. Nah loh! Kalah cepet. Tapi tetep seneng sih, bisa setor di hari pertama....
Nah, cerpennya kayak gimana sih yang aku setorin? FYI, cerpen ini terinspirasi dari kisah yang pernah aku alami loh... cekidot:
Kisah
Penghancur dan Penyelamat
Dalam perjalanan naik bus TransJakarta dari halte Harmoni
ke Kalideres, aku tak sengaja berjumpa dengan Hanis. Wanita yang dalam
ingatanku, berasal dari masa lalu. Sebuah rangkaian kejadian dalam waktu yang
terjadi lebih dari sepuluh tahun silam. Takdir mungkin sedang menyentilku,
dengan mempertemukan kami. Mau tak mau aku membuka kembali ingatan tentang
hubungan kami.
Baiklah, aku akan menceritakan pada kalian semua dan
berjanjilah untuk tidak menghakimi. Aku akan berusaha untuk tidak memodifikasi
kisah ini atau membuat penambahan dan pengurangan yang membuat seolah-olah di
sini aku yang paling berhak mendapatkan simpati pembaca. Tidak sama sekali dan
karena ini berasal dari kisah yang benar-benar terjadi, maka pertimbangkanlah
untuk mengambil pesan moral dan pelajaran secara mandiri. Mengingat aku,
meskipun sebagai penulis kisah ini, tidak bisa melakukan rekacipta sesuka hati.
Adalah Nuriya, gadis berusia 18 tahun yang pada waktu itu
sama-sama bekerja denganku di sebuah pabrik. Kami dipertemukan tiga bulan sejak
aku bekerja di sana. Pada awalnya, pemimpin kami memilih beberapa orang
operator yang dianggap istimewa. Antara lain, yang mampu bertanggung jawab
lebih dari sekadar berproduksi di line sebagai operator.
Kami sama-sama terpilih menjadi trainer pendamping yang
bertugas untuk mengawasi dan mendampingi para operator. Di dalam tugas itu juga
terdapat tujuan agar tidak terjadi angka rejeksi yang tinggi. Semakin baik
pekerjaan kami, semakin rendah angka rejeksi. Itulah poin utamanya. Aku dan
Nuriya bekerja sama mendampingi satu line produksi bernama line A.
Kerja sama yang terjalin antara kami baik. Bahkan dalam
bulan pertama penugasan, line A menjadi line dengan produktivitas tertinggi.
Bukan hanya tertinggi tapi juga terbaik jika dibandingkan dengan line lain yang
nilai produktiviatasnya sama tinggi tapi begitu juga dengan angka rejeksinya.
Angka rejeksi line A yang terendah di antara enam line di bagian kami.
Pada bulan ke-dua penugasan kami, kebijakan baru
diberlakukan. Para karyawan baru dimasukkan ke dalam line A. Sehingga aku dan
Nuriya mulai kewalahan. Rasanya bekerja tanpa jeda, bahkan tak jarang
mengorbankan jam istirahat saja belum bisa membuat line A kembali berjaya.
Melihat hal itu, pimpinan kami, koordinator line A mengajukan permohonan yang
langsung disetujui oleh section head. Menambah jumlah trainer di line A.
Datanglah seorang trainer baru ke line kami, Lestari.
Pada perkembangan berikutnya Lestari memiliki kontribusi
yang besar demi kegemilangan line A. Dalam hubungan personal pun aku lebih
condong kepadanya. Lebih dekat dengan Lestari. Hal itu, aku rasa dipicu oleh
sifat ramahnya. Gadis yang tak menamatkan pendidikan SMA-nya itu bahkan tak
keberatan sesekali memberiku makan siang dari rumahnya.
“Nggak usah beli, Wit. Uangnya buat beli makan malam aja.
Sekarang makan ini yuk,” katanya padaku suatu waktu di jam istirahat.
“Wah makasih banget, Ri.”
“Kamu kan kost, uangmu nanti buat bayar kost, belum kalau
malam laper beli makan lagi. Nanti kalau sempat aku bawakan makanan aja dari
rumah. Buat ngirit. Hehe.”
“Hah? Repot-repot.”
“Ya nggak pa-pa, kita kan teman.”
Begitulah pertemanan antara aku dan Lestari bertambah
akrab dan naik level menjadi persahabatan. Tapi bukan Lestari tokoh utama dalam
kisah ini. Bukan juga Nuriya, rekan yang mulai tidak suka akan kedekatanku
dengan Lestari. Dia merasa diabaikan.
Suatu hari dia membuat kesalahan, yang bagiku dan Lestari
itu kesalahan fatal. Nuriya memberikan contoh yang salah pada para operator
lama line A, sementara aku sedang sibuk dengan para operator baru. Lestari
sebenarnya sudah curiga, tapi kecurigaan itu segera dibantah oleh koordinator
line A.
“Kamu kan anak baru, jadi nggak usah sok tau. Mbak Nuriya
itu senior kamu, ingat?” Setidaknya kira-kira begitu kalimat pembelaan koordinator
line A ketika Lestari menyampaikan kecurigaannya. Ketika kesalahan itu
terungkap bahkan tidak ada hukuman sama sekali terhadap Nuriya. Hal yang
menimbulkan kecurigaan di pikiran kami, aku dan Lestari.
Sampai suatu hari, setelah rentetan kecerobohan yang
dilakukan Nuriya membuatku berada di level lelah lahir batin, emosi negatif pun
pecah. Aku beradu mulut dengannya di jam produksi, di hadapan para operator.
Lalu kami bertiga, entah mengapa Lestari diharuskan ikut juga, dipanggil ke
kantor untuk menemui kepala bagian HRD.
“Sebenarnya saya tidak suka kehadiran Mbak Lestari,
karena sejak ada dia, line A jadi menurun prestasinya,” kilah Nuriya kepada
Mbak Hanis.
“Bukannya semua itu karena kesalahanmu?” sanggahku tak
terima.
“Jaga nada bicara Anda, Mbak Sawitri! Baiklah, Mbak
Nuriya, Mbak Lestari boleh kembali ke line. Mbak Sawitri tetap di sini.”
Setelah kedua rekanku itu keluar, Hanis melanjutkan
bicaranya.
“Mbak masih mau bekerja di perusahaan ini?”
“Ya tentu.”
“Kalau begitu tolong jaga sikap. Perusahaan ini
membutuhkan orang dengan attitude baik, bukan orang yang gemar membuat onar.
Saya sudah melihat surat lamaran Mbak dan di sini tertera Mbak hanya lulusan
SMA. Tau artinya?” Aku masih diam mendengarkan dengan seksama.
“Artinya perusahaan ini boleh jadi adalah satu-satunya
harapan Mbak. Lagipula jaman sekarang mau cari kerja juga susah. Mau ke Jakarta
pun paling-paling jadi babu. Jadi tolong, tolong jaga sikap jika masih ingin
bekerja di sini.”
Kalimat itu, saat itu sangat menyakitkan bagiku sehingga
tidak ada urusan lain lagi yang lebih penting daripada balas dendam. Aku mulai
mencari tahu siapa Hanis, di mana tempat tinggalnya, siapa kerabatnya. Tidak
terkejut sama sekali ketika tahu bahwa Hanis masih memiliki hubungan
persaudaraan dengan Nuriya.
Bulan berikutnya, seperti mendapatkan bongkahan emas di
tengah jalan aku tak sengaja mencuri dengar Hanis yang terlibat pembicaraan
mesra dengan salah satu karyawan laki-laki. Itu terjadi di lorong menuju
klinik, ketika aku hendak minta obat pereda nyeri untuk salah seorang operator.
Tanpa banyak pikir, diam-diam aku mengambil gambar dengan ponsel Nokie E-63
kesayangan, tak lupa juga merekam barang satu dua kalimat antara mereka. Bukti
itu aku salin ke dalam sebuah SD card yang akan kuberikan pada Aditya Rahman,
calon suami Hanis yang kerap menjemput kepala HRD itu. Beberapa karyawan
berusia di bawah 20 tahun, tergila-gila padanya meskipun hanya bisa mengagumi
dari jauh.
Aditya Rahman sendiri adalah sarjana pendidikan olah raga
yang bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah SMA swasta di kota kami. Aku
yang telah menaruh dendam pada Hanis tak segan untuk membeberkan informasi
mengenai calon istrinya. Lestari memberikan salinan itu pada Aditya Rahman
sementara aku menahan Hanis lebih lama di kantor dengan alasan permohonan maaf
secara pribadi.
Waktu adalah pelari terbaik. Dia berlari meninggalkan
kenangan, cita-cita, kebencian, dendam dan apa saja di belakang. Terus berlari
sambil sesekali menyembuhkan luka. Tapi beberapa luka tak sembuh oleh hitungan
waktu. Aku, Lestari, Nuriya, Hanis, kami terpisah dan menjalani hidup
masing-masing. Kehidupan ini membawaku untuk hijrah dari kota kelahiran.
Sampai hari di saat aku bertemu dengan Hanis di dalam
bus, aku mengingat lagi semuanya. Luka-luka, harapan juga kejahatan. Sebuah
rencana pernikahan telah gagal oleh sebab diriku. Aditya Rahman membatalkan
rencana manisnya dengan Hanis sehari setelah salinan yang kubuat diberikan
padanya.
Sejujurnya aku merasa sangat bersalah. Aku menyimpan rasa
sesal itu hingga hari ini. Bahkan melihat wanita itu sekali lagi rasanya begitu
nyeri. Tak terbayang betapa sakitnya dia dulu. Sedikit ataupun banyak itu
karena ulahku.
“Mbak, apa kabar?” tanyaku berbasa-basi.
“Baik. Nggak nyangka ya ketemu di sini. Lama banget kita
nggak ketemu. Tambah cantik deh sekarang.”
“Mbak Hanis juga masih selalu cantik.”
“Tinggal di mana sekarang?”
“Di Bekasi, Mbak. Kalau Mbak sendiri?”
“Masih di kampung kita. Kebetulan seminggu ini lagi main
aja di Jakarta.”
“Oh, udah punya anak berapa?” Kelak pertanyaan ini akan
sangat aku sesali.
“Belum ada, aku masih singel.”
“Oh, yang penting bahagia selalu ya, Mbak.”
Sesampainya di Kalideres aku langsung memesan taksi online
untuk mengantar pulang. Tidak ada urusan lagi. Tidak ada yang penting lagi. Aku
harus pulang. Dalam perjalanan, air mata tak henti-hentinya menetes dan semakin
menderas oleh karena sesal dan rasa bersalah yang amat besar.
Bahkan tubuh ini bak kehilangan daya seketika sampai di
rumah disambut oleh suami yang juga baru pulang.
“Kamu kenapa?”
“Mas, aku….”
“Ayo masuk dulu.”
Aku menangis dan terus menangis. Sementara suamiku
bingung dan tahu harus berbuat apa.
“Aku tadi ketemu orang,” kataku ketika mulai sedikit
tenang, “yang kuhancurkan hidupnya. Aku menyesal!”
Suamiku
hanya bisa memeluk untuk menyabarkan.
“Tenanglah, Sayang. Jika benar kamu pernah salah ayok
kita minta maaf padanya. Kita cari orangnya supaya kamu tenang.”
“Lalu apa kamu juga akan memaafkan aku, Mas Aditya? Aku
tadi bertemu Hanis dan dia … dia.”
“Ssst! Dia sudah kutinggal di masa lalu. Apapun yang
terjadi padanya sekarang bukan lagi urusanku.”
“Kamu hanya tidak tahu, Mas, bahwa akulah yang
menyebabkan kalian berpisah. Aku yang membuat salinan foto dan rekaman suara
itu.”
Aditya Rahman terdiam. Perlahan melepaskan pelukannya.
Saat yang sama hatiku benar-benar terasa sakit dan kedinginan. Sejurus kemudian
dia berlutut, memegang kedua tanganku dana berkata, “Justru kamulah penyelamat
bagiku. Aku sungguh mencintaimu, dulu, sekarang dan selamanya.”
“Mas!” Sekali lagi dia memelukku, sekali untuk selamanya.
Dan, sejumlah pulsa yang tersedot oleh pihak laqnatullah! Untung gak semuanya.... Alhamdulillah. Semoga novelnya Kak Susi best seller dan bermanfaat bagi orang banyak. aaamiiin. Jadi gini, uhm, apakah ini termasuk prestasi nulis?
Komentar
Posting Komentar