Wanita dan Hidup Sempurna




Sudah lama aku tak bertemu dengan Dian. Lama sekali sejak kepergianku ke Inggris lima tahun yang lalu. Sebenarnya dua tahun setelahnya aku pulang, hanya saja aku merasa belum cukup kuat untuk bertemu dengannya. Namun, belum lama ini dia mencoba menjalin kembali pertemanan, ya, maksudku persaudaraan dengan mengirimiku email. Setelah berbasa-basi kami sepakat untuk bertemu dua bulan kemudian, tepat hari ini setelah aku kembali.
Kami janjian di terminal. Aku hanya menjemputnya saja. Awalnya kami masih canggung, dia bahkan tak bertanya apapun tentang hidupku sekarang. Sebenarnya, aku ingin dia membuka obrolan tentang apa saja, terutama tentang hidupku sekarang. Hidup yang menurutku sempurna. Sedikit kasihan pada Dian, hari ini dia  mengenakan pakaian yang buruk dan sandal plastik berwarna ungu. Itu menyedihkan sekali. Sedangkan aku, tentu penampilanku jauh lebih baik. Aku mengenakan jins, kaos berkerah tinggi dan sepatu datar Tod’s buatan Italia.
Entah apa yang dilihat oleh Pras ketika memutuskan memilih Dian, dia sama sekali tidak punya selera. Jujur, aku sangat puas. Aku bahagia dan lega ketika mengetahui keadaan Dian sekarang. Mungkin saja, dia adalah salah satu emak muda kurang belanja yang sebentar lagi terlihat jauh lebih tua dari usianya. Aku nyaris tertawa membayangkan hal itu. Dan Pras, entah di kamar hatinya yang mana, aku yakin dia menyesal karena telah mencampakkan aku demi Dian sepupuku.
Maksudku, siapa yang tidak tertarik dengan perempuan yang keren, mandiri, dan memiliki hidup sempurna seperti aku?
Setengah jam menempuh perjalanan, aku membelok ke kiri menuju sebuah kafe. Setelah parkir, kami turun dari Honda Jazz yang kupinjam dari adikku. Aneh kalau Dian kemudian diam saja di samping mobil. Dia tak mau masuk.
“Ada apa? Kau sakit?” tanyaku cemas.
Dian menggeleng. Aku semakin tak mengerti. Apa ada penjahat di dalam sana? Orang yang akan menculik Dian? Oh ayolah, Dian, aku jauh lebih berpeluang untuk diculik, aku membatin.
“Kukira kita akan duduk-duduk di taman saja. Aku tidak punya banyak uang,” ungkapnya jujur dan aku hampir terbahak kalau saja alarm dalam diri tidak mengerem hal itu. Tawaku bisa sangat menyakiti dan menyinggungnya. Tapi aku jadi ingin tahu, apakah Pras tidak mencukupi semua kebutuhan Dian. Yah, dulu waktu akau masih pacaran dengannya, Pras memang malas. Dia kerap beralasan meminjam uang padaku yang akhirnya tidak dikembalikan. Tapi mereka kan menikah, harusnya Pras berubah.
“Tidak perlu cemaskan hal itu, Dian.” Aku menggamit tangannya lalu kami berjalan masuk dan tempat itu tidak terlalu ramai. Saat ini aku dan Dian pasti bagaikan, apa ya permisalan yang pas, pembantu dan majikan, ah tidak itu terlalu jahat. Si beruntung dan si malang mungkin terdengar lebih manusiawi.
“Jadi ini kebiasaanmu ya?” Dian bertanya ketika aku menyeruput latteku.
“Maaf?”
“Maksudku, nongkrong-nongkrong, kau taulah.” Senang rasanya akhirnya Dian tertarik dengan cerita-cerita yang kubawa.
“Ya, lumayan sering,” jawabku merendah. “Bagaimana kalau nanti kita cari baju?”
“Aku sudah bilang tidak bawa uang kan?”
“Sebenarny aku tidak keberatan membelikanmu beberapa baju, kita kan saudara. Lagipula aku tidak membawakan oleh-oleh apapun dari London.”
“Kurasa itu tidak perlu, terima kasih.”
Baiklah aku boleh menyerah sekarang. Nanti aku bisa memaksanya. Maksudku, benar-benar membelikannya baju. Karena aku yakin tak ada baju yang akan kusuka di kota kecil ini. Walau di London sana aku hanya mampu berbelanja di Top Shop atau Oasis di Kensington High Street, bukannya seperti Georgie teman Inggrisku yang selalu membeli barang yang ada di majalah Vogue.
Dan bila aku bersamanya, rasanya seperti posisi Dian sekarang saat bersamaku. Maksudku, penampilanku tak pernah benar di mata gadis yang menurutku secantik Gwyneth Paltrow versi lebih muda.
“Jadi apa pekerjaanmu di London?”
“Emh, aku bekerja di penerbitan.”
“Wow, itu hebat.”
Aku sangat beruntung dia berkata demikian, karena sesungguhnya aku tidak merasa keren sama sekali. Tapi apapun itu, aku adalah wanita yang berhasil tinggal dan memiliki pekerjaan di London. Tak banyak yang seperti itu dan ada bagusnya juga aku dicampakkan oleh Pras. Maksudku, walaupun itu bukan motivasi utamaku, setidaknya saat itu patah hati menjadi salah satu pendukung keberangkatan yang memang sudah kuimpikan sejak lama.
Patah hati, seharusnya aku sudah melupakan hal itu. Itu sudah lebih lima tahun yang lalu. Sekarang aku sudah punya Ralf. Laki-laki berkulit putih dengan rahang tegas, meskipun seringkali aku harus berjinjit untuk menciumnya. Ralf sangat berbeda dengan Pras. Dia tipe laki-laki pelindung. Aku selalu merasa aman dan nyaman ketika bersamanya. Bahkan saat kepulanganku kemarin, dia menemaniku berburu oleh-oleh dan ikut mengemasi barang-barangku.
Sejujurnya aku ingin Ralf ikut. Setidaknya, Pras, Dian dan keluargaku tahu, bahwa aku telah berbahagia karena mendapat pengganti yang jauh lebih baik dari Pras. Seseorang yang tidak akan menggunakan uangku, tidak membiarkanku berkendara sendirian-Pras tidak bisa mengemudi waktu itu-, pokoknya dia akan memanjakanku.
Kami sering menghabiskan waktu bersama. Seperti ketika Ralf membacakan koran Telegraph atau Financia Times, atau menonton siaran BBC, pokoknya apa saja untuk mengajariku bicara seperti native speaker meskipun itu agaknya mustahil.
“Lalu coba beri tau aku apa kegiatanmu sehari-hari?”
“Aku? Aku yakin kau tidak tertarik, Van. Aku hanya bangun tidur, membersihkan segala sesuatu, membuat makanan untuk anak dan suami, mengantarkan sekolah, yah, semacam itu.”
“Apa kau tidak melakukan hal lain? Maksudku, menyenangkan diri atau semacamnya.” Aku berusaha keras untuk terdengar ramah dan tidak mengejek.
“Kurasa itu tidak perlu, Vanesa.”
Oh Tuhan! Aku jadi semakin bertanya-tanya, wanita macam apa Dian ini. Apakah Pras benar-benar tertarik dengannya atau hanya memaksakan diri, karena, yah kau tau, mereka menikah. Apakah Dian bahagia dengan hidupnya sekarang? Sebaiknya aku tidak menanyakan hal itu langsung karena rasanya sangat tidak sopan.
Seperti dugaanku, Dia tidak akan menolak paksaan belanja. Meskipun malu-malu, tapi aku berhasil memilihkan baju untuknya dan tanpa disangka, dia memintaku membelikan satu baju juga untuk anaknya. Aku bahagia bisa membuatnya senang hari ini.
“Aku harus cepat pulang.”
“Tentu saja, kita akan pulang setelah ini.”
Ketika mengantarnya, aku berniat langsung pulang. Tapi Dian memaksaku untuk mampir ke rumahnya. Yah, lagipula aku ingin ke toilet juga jadi sekalian. Aku harap Pras tidak ada di rumah.
Rumah yang ditempati Dian ada di belakang terminal. Sesampainya di sana, aku langsung ijin ke belakang karena sudah tak tahan. Apa yang disebut kamar mandi di rumah Dian adalah jamban di ruangan kecil dengan satu kran air dan ember besar. Sungguh sangat berbeda dengan kamar mandiku di London yang bersih, kering dan wangi. Aku kerap mengisinya dengan barang-barang yang wangi, minyak mandi, facial wash, berbagai sabun, dan tumpukan handuk putih seperti di hotel. Tentu saja ada bathtub tempatku berendam  jika aku kelelahan sepulang kerja.
Dian bukanlah orang yang bisa menyenangkan diri sendiri. Setelah selesai  aku keluar dan Dian sudah menyiapkan camilan dan teh di meja tamu yang sepertinya sekaligus digunakan untuk meja makan. Rumah ini tak cukup besar untuk memiliki ruang tamu yang terpisah dengan dapur.
“Assalamu’alaikum.”
Pras? Aku tertegun sejenak ketika laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Dian menjawab salam lalu mencium punggung tangan laki-laki itu. Dia datang bersama seorang bocah kecil yang kemudia mencium tangan Dian.
“Ayo salim sama Tante.” Dian memerintahan.
Anak laki-laki yang mungil itu mendekat dan menjulurkan tangan kanannya, aku masih tertegun saat itu. Tapi Dian segera menegurku, “Tante Vanesa, Iqbal mau salim.”
“Oh, maaf.” Aku menggenggam tangan mungil itu.
“Nama saya Iqbal.” Bibir kecilnya berucap.
Tak dapat kusangkal, aku menyukai Iqbal. Ia terus saja mengganguku setelah begitu senang dengan baju yang kubelikan, minta dipangku, bertanya banyak hal, tapi aku merasa baik-baik saja sebelum pertanyaannya menusuk hatiku.
“Apa Tante punya anak juga?”
Aku, apakah aku ingin punya anak? Kami, maksudku aku dan Ralf tidak pernah membiacarakan hal itu. Sejauh ini kami baik-baik saja. Walaupun  aku ingin dia benar-benar melamarku. Melamar sungguhan, bukan berlutut sambil memberikan cincin dan kata-kata romantis meskipun itu dia lakukan di Paris ketika kami liburan. Aku ingin Ralf mendatangi orangtuaku. Lalu kami akan membahas pernikahan dan kemungkinan punya anak.
Ibuku sering berkata dengan nada sedih, bahwa di usianya yang mendekati 60 dia ingin menggendong bayi, cucunya. Ibu ingin aku segera menikah dan punya anak. Sementara aku terhanyut dalam hidup yang kuanggap sempurna dan hubungan yang bagi sebagian orang di sini tidak jelas dengan Ralf.
“Tante akan punya.” Jawaban itu meluncur begitu saja dan ketika dalam perjalanan pulang aku sadar aku akan mempertimbangkan kembali hubunganku dengan Ralf. Mungkin aku akan membuat analisa SWOT.

 ====

 Cerpen ini terpilih sebagai cerpen terbaik ke dua dalam event yang diselenggarakan di grup facebook Cerita Kita oleh founder grup Prof. Raka Kelana

Komentar

Postingan Populer